Skip to main content

Waktu



WAKTU

Aku sering menikmati tenangnya rumah seorang diri, mengucapkan selamat tinggal pada dunia luar dengan mengunci pintu dan membaca buku. Sepi adalah sahabat baikku yang mampu menenangkanku dalam diam. Ia bersekongkol dengan waktu untuk memperlambat putaran jarum jam, memperlama siksa yang menderaku.

Terhitung sudah tiga hari ini aku tidak bercengkrama sama sekali dengan dunia. Bagiku, hidup ini singkat dan sia-sia. Rasanya tak ada yang bisa aku lakukan. Membiarkan waktu membunuhku perlahan.

Seseorang datang mengetuk pintu rumahku di pagi hari. Dengan malas aku membukanya dan mempersilahkan ia masuk. Seketika sekumpulan cahaya menyusup masuk. Tapi ia tidak merespon apapun. Jangankan merespon, ia bahkan tidak bergerak sedikitpun dari posisinya berdiri. Wajah pria di depanku ini terlihat asing. Mungkin ia adalah teman Papa.

“Cari Papa ya om? Maaf, tapi Papa belum pulang dari luar kota,” terangku seadanya.

Bukannya menjawab, pria itu malah menyodorkan sebuah kotak. Mataku menatap pria itu dan si kotak bergantian. Aku membukanya, kosong. Jadi tujuan orang ini mengganggu ketenanganku hanya untuk memberikan kotak kosong tidak penting. Pikiranku melambung bingung sampai aku tidak menyadari kalau pria tadi sudah berjalan pergi.

“Tunggu! Mengapa anda memberikan kotak ini kepada saya?”

Aku terus mengikuti pria itu. Ia tetap tidak mau berhenti.

“Hei! Tunggu!”

Kakiku sampai terseok-seok karena mengejarnya. Aku kehilangan jejak pria misterius itu. Terpaksa kakiku melangkah pulang.

Sesampainya di rumah, kupandangi kotak itu lekat. Masih sama. Tidak ada yang spesial, hanya kotak kosong.

Tiba-tiba suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku akan kotak tersebut. Kali ini muncul wanita bergaya bak borjuis. Baju yang ia pakai terlihat berasal dari rumah mode ternama. Sepatu yang ia kenakan nampak mengkilat. Perhiasan yang menempel ditubuhnya pasti mahal harganya.

Ia memberiku bergepok-gepok uang dengan syarat aku bersedia menukarnya dengan kotak kosong yang diberikan oleh pria misterius tadi.  Mataku membulat. Apa wanita ini gila? Menukar uang sebanyak itu demi sebuah kotak kosong. Dunia memang sudah dipenuhi orang-orang tidak waras. Dengan senang hati aku akan memberikan kotak itu tanpa perlu ia membayarnya. Selepas aku memberi kotak tersebut, wanita itu pun pergi.

Suasana malam terasa sunyi. Papa pergi ke luar kota, sedangkan Mama baru saja pulang kerja  dan sudah terbaring lelap dalam kamar. Tinggallah aku sendiri. Kedua orang tuaku saja sepertinya tidak peduli dengan eksistensiku. Ditambah kejadian-kejadian aneh yang terjadi di hari ini. Memikirkan itu semua membuang energiku saja. Sekarang aku lapar.

Aku menapaki anak tangga kebawah. Keadaan rumah begitu sepi serasa tak berpenghuni. Satu-satunya yang dapat kudengar adalah ketukan langkahku sendiri. Sampai di ruang tamu, aku terdiam kaku. Pemandangan dihadapanku benar-benar membuatku tak habis pikir. Bagaimana caranya kotak itu kembali kesini? Tidak mungkin. Kupastikan semua pintu dan jendela telah terkunci.
Aku memberanikan diri meraih kotak itu. Lalu membawa dan meletakkannya di atas nakas persis samping tempat tidur. Gara-gara kotak ini aku sampai lupa makan. Aku kembali menuruni anak tangga menuju dapur.

Untung saja, masih ada persediaan makanan dan minuman di lemari pendingin. Kalau tidak, aku bisa mati busung lapar seperti berita-berita di tv. Biarlah terdengar hiperbolis. Itung-itung berusaha menghibur diri sendiri. Tanganku sigap menyambar minuman kaleng sekaligus buah dan membawanya ke kamar.

Setiba di kamar, lagi-lagi aku dibuat bingung. Kotak itu menghilang. Tirai kamarku melambai tertiup angin. Pikirku pasti ada seseorang yang menyelinap masuk kamar melalui jendela. Aku mendekat ke jendela. Mencari siapa yang mengambil kotakku. Kutengokkan kepalaku ke bawah.  Seorang laki-laki berpakaian serba hitam tengah berjalan membawa kotak itu. Kotak itu milikku. Apapun caranya aku harus mendapatkan benda itu kembali. Tubuhku segera beranjak mengejar laki-laki berbaju hitam itu.

Hari sudah malam. Langit temaram memayungiku. Tidak ada siapapun, kecuali aku dan laki-laki itu dalam kegelapan.  Lima belas menit berlalu aku mengikuti laki-laki ini. Langkah kakiku berlari membelah jalan setapak.

Nafasku tersengal-sengal. Aku mengatur napasku sejenak sebelum lanjut mengejar laki-laki tadi.

Usai mengatur napas, aku mencari keberadaan orang itu. Tapi aku tak menemukannya. Aku berlari ke arah kanan, tidak ada. Ke arah kiri, tidak ada. Aku berlari ke depan, hasilnya sama. Ia seolah menghilang ditelan malam. Kuputuskan untuk kembali pulang.

Di rumah, aku tak mengira kalau aku akan bertemu pria misterius yang kutemui tadi pagi. Ia tengah berdiri di depan teras rumahku. Tanpa berpikir panjang, aku langsung mendekat ke tempat pria itu.

“Tolong jelaskan padaku, apa yang kau inginkan? Kotak itu benar-benar menyusahkaknu hari ini.”

“Apa yang kau pelajari hari ini?”

“Mempelajari apa?”

“Berarti kau belum mempelajari sesuatu.”

“Pertama, kau memberiku kotak kosong tidak penting secara cuma-cuma kepadaku. Selanjutnya, datang seorang wanita membawa uang untuk menukarnya dengan kotak kosong itu. Lalu secara tiba-tiba kotak itu kembali lagi kepadaku. Disaat aku ingin memilikinya, kotak itu menghilang. Padahal baru sebentar kutinggal, sudah ada seseorang mengambilnya. Ini terlalu gila!”

Bibir pria itu mengulas senyum.

“Sesuatu itu diberikan secara gratis. Apa yang menurutmu tak bernilai, belum tentu sama bagi orang lain. Kau memilikinya, tapi kau tak bisa menyimpannya setiap saat. Sekali kau kehilangan sesuatu itu, kau tidak akan pernah mendapatkannya kembali.”

Aku mengerutkan dahi. Memburu jawaban maksud perkataan pria ini. Dia mengatakan apa tadi? Sesuatu?

“Sesuatu?” tanyaku memastikan.

Kemudian pria itu tersenyum dan pamit pergi. Menyisakan tanda tanya yang membayang-bayang di otakku.

Sesuatu.   
                                   
Hembus angin menerpa wajahku menitipkan pesan. Sayup-sayup kudengar suara bisikan, waktu. Aku tertegun.


***


Time is free, but it’s priceless. You can’t own it, but you can use it. You can’t keep it, but you can spend it. Once you’ve lost it, you can never get it back. –Harvey Mackat

Popular posts from this blog

Sebuah Tantangan

Sebuah Tantangan Laptop-laptop bertengger diatas meja seluruh murid dalam salah satu kelas sepuluh. Kertas sobekan berisi goresan rumus dan coret-coretan bertaburan di sebagian meja. Ada pula murid yang bersenda gurau sekedar membicarakan film, buku, atau tempat nongkrong baru. Sebagian murid lain memilih sibuk berselancar di linimasa dengan perantara ponsel. Presentasi kelompok untuk mata pelajaran Matematika Peminatan sedang berlangsung siang ini. Seperti biasa, aku berkelompok dengan Arimbi dan Indira. Kami bertiga mengerjakan kuis yang diberikan kelompok lain dengan semangat. “Ini jawabannya negatif,” ucap Indira memindai lembaran kertas coretan Arimbi. “Serius? Aku harus hitung ulang lagi kalau begitu.” Arimbi langsung mendecak sebal. Selembar kertas ia gunakan untuk mengerjakan satu soal matematika dan ternyata hasilnya salah hanya karena tanda postif dan negatif. “Kamu ngerjain soal nomor berapa rim?”, sergahku ikut berbalik menghadap meja Arimbi.

Si Agit

   Si Agit          Sagita adalah siswi pindahan dikelasku, kelas 11 IPA 4. Hampir satu semester ini ia telah menimba ilmu disini. Aku dan teman-teman biasa menyebut gadis itu ‘Agit’. Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa, bukan? atau kalian pasti menjawab karena nama dia adalah Sagita. Kalau iya maka jawaban kalian salah, tidak sepenuhnya salah sih. Jawaban tepatnya bukan karena itu, akan kujawab nanti. Meskipun kami berada dalam kelas yang sama, aku tidak terlalu mengenalnya. Terdapat beberapa kemungkinan alasan kenapa aku tak terlalu akrab dengan si Agit. Entah aku yang terlalu sombong sehingga enggan mengakrabkan diri dengan dirinya atau memang si Agit tipikal orang yang tertutup mengenai kehidupan pribadi.                 Sebenarnya rupa Sagita biasa saja bahkan tergolong jelek, maaf. Ditambah kebiasaan buruk gadis itu yang suka datang terlambat lengkap dengan rambut kusut menghiasi kepala gadis itu. Satu hal paling mencolok dari penampilan Sagita saat bulan pertama di