Aku sering menikmati tenangnya rumah seorang diri, mengucapkan selamat
tinggal pada dunia luar dengan mengunci pintu dan membaca buku. Sepi adalah
sahabat baikku yang mampu menenangkanku dalam diam. Ia bersekongkol dengan waktu
untuk memperlambat putaran jarum jam, memperlama siksa yang menderaku.
Terhitung sudah tiga hari ini aku tidak bercengkrama sama sekali dengan
dunia. Bagiku, hidup ini singkat dan sia-sia. Rasanya tak ada yang bisa aku
lakukan. Membiarkan waktu membunuhku perlahan.
Seseorang datang mengetuk pintu rumahku di pagi hari. Dengan malas aku
membukanya dan mempersilahkan ia masuk. Seketika sekumpulan cahaya menyusup
masuk. Tapi ia tidak merespon apapun. Jangankan merespon, ia bahkan tidak
bergerak sedikitpun dari posisinya berdiri. Wajah pria di depanku ini terlihat
asing. Mungkin ia adalah teman Papa.
“Cari Papa ya om? Maaf, tapi Papa belum pulang dari luar kota,” terangku seadanya.
Bukannya menjawab, pria itu malah menyodorkan sebuah kotak. Mataku
menatap pria itu dan si kotak bergantian. Aku membukanya, kosong. Jadi tujuan
orang ini mengganggu ketenanganku hanya untuk memberikan kotak kosong tidak
penting. Pikiranku melambung bingung sampai aku tidak menyadari kalau pria tadi
sudah berjalan pergi.
“Tunggu! Mengapa anda memberikan kotak ini kepada saya?”
Aku terus mengikuti pria itu. Ia tetap tidak mau berhenti.
“Hei! Tunggu!”
Kakiku sampai terseok-seok karena mengejarnya. Aku kehilangan jejak pria
misterius itu. Terpaksa kakiku melangkah pulang.
Sesampainya di rumah, kupandangi kotak itu lekat. Masih sama. Tidak ada
yang spesial, hanya kotak kosong.
Tiba-tiba suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku akan kotak tersebut.
Kali ini muncul wanita bergaya bak borjuis. Baju yang ia pakai terlihat berasal
dari rumah mode ternama. Sepatu yang ia kenakan nampak mengkilat. Perhiasan
yang menempel ditubuhnya pasti mahal harganya.
Ia memberiku bergepok-gepok uang dengan syarat aku bersedia menukarnya
dengan kotak kosong yang diberikan oleh pria misterius tadi. Mataku membulat. Apa wanita ini gila? Menukar
uang sebanyak itu demi sebuah kotak kosong. Dunia memang sudah dipenuhi
orang-orang tidak waras. Dengan senang hati aku akan memberikan kotak itu tanpa
perlu ia membayarnya. Selepas aku memberi kotak tersebut, wanita itu pun pergi.
Suasana malam terasa sunyi. Papa pergi ke luar kota, sedangkan Mama baru
saja pulang kerja dan sudah terbaring
lelap dalam kamar. Tinggallah aku sendiri. Kedua orang tuaku saja sepertinya
tidak peduli dengan eksistensiku. Ditambah kejadian-kejadian aneh yang terjadi
di hari ini. Memikirkan itu semua membuang energiku saja. Sekarang aku lapar.
Aku menapaki anak tangga kebawah. Keadaan rumah begitu sepi serasa tak
berpenghuni. Satu-satunya yang dapat kudengar adalah ketukan langkahku sendiri.
Sampai di ruang tamu, aku terdiam kaku. Pemandangan dihadapanku benar-benar
membuatku tak habis pikir. Bagaimana caranya kotak itu kembali kesini? Tidak
mungkin. Kupastikan semua pintu dan jendela telah terkunci.
Aku memberanikan diri meraih kotak itu. Lalu membawa dan meletakkannya di
atas nakas persis samping tempat tidur. Gara-gara kotak ini aku sampai lupa
makan. Aku kembali menuruni anak tangga menuju dapur.
Untung saja, masih ada persediaan makanan dan minuman di lemari
pendingin. Kalau tidak, aku bisa mati busung lapar seperti berita-berita di tv.
Biarlah terdengar hiperbolis. Itung-itung berusaha menghibur diri sendiri.
Tanganku sigap menyambar minuman kaleng sekaligus buah dan membawanya ke kamar.
Setiba di kamar, lagi-lagi aku dibuat bingung. Kotak itu menghilang.
Tirai kamarku melambai tertiup angin. Pikirku pasti ada seseorang yang
menyelinap masuk kamar melalui jendela. Aku mendekat ke jendela. Mencari siapa
yang mengambil kotakku. Kutengokkan kepalaku ke bawah. Seorang laki-laki berpakaian serba hitam
tengah berjalan membawa kotak itu. Kotak itu milikku. Apapun caranya aku harus
mendapatkan benda itu kembali. Tubuhku segera beranjak mengejar laki-laki
berbaju hitam itu.
Hari sudah malam. Langit temaram memayungiku. Tidak ada siapapun, kecuali
aku dan laki-laki itu dalam kegelapan.
Lima belas menit berlalu aku mengikuti laki-laki ini. Langkah kakiku
berlari membelah jalan setapak.
Nafasku tersengal-sengal. Aku mengatur napasku sejenak sebelum lanjut
mengejar laki-laki tadi.
Usai mengatur napas, aku mencari keberadaan orang itu. Tapi aku tak
menemukannya. Aku berlari ke arah kanan, tidak ada. Ke arah kiri, tidak ada.
Aku berlari ke depan, hasilnya sama. Ia seolah menghilang ditelan malam.
Kuputuskan untuk kembali pulang.
Di rumah, aku tak mengira kalau aku akan bertemu pria misterius yang
kutemui tadi pagi. Ia tengah berdiri di depan teras rumahku. Tanpa berpikir
panjang, aku langsung mendekat ke tempat pria itu.
“Tolong jelaskan padaku, apa yang kau inginkan? Kotak itu benar-benar
menyusahkaknu hari ini.”
“Apa yang kau pelajari hari ini?”
“Mempelajari apa?”
“Berarti kau belum mempelajari sesuatu.”
“Pertama, kau memberiku kotak kosong tidak penting secara cuma-cuma kepadaku.
Selanjutnya, datang seorang wanita membawa uang untuk menukarnya dengan kotak
kosong itu. Lalu secara tiba-tiba kotak itu kembali lagi kepadaku. Disaat aku
ingin memilikinya, kotak itu menghilang. Padahal baru sebentar kutinggal, sudah
ada seseorang mengambilnya. Ini terlalu gila!”
Bibir pria itu mengulas senyum.
“Sesuatu itu diberikan secara gratis. Apa yang menurutmu tak bernilai,
belum tentu sama bagi orang lain. Kau memilikinya, tapi kau tak bisa
menyimpannya setiap saat. Sekali kau kehilangan sesuatu itu, kau tidak akan
pernah mendapatkannya kembali.”
Aku mengerutkan dahi. Memburu jawaban maksud perkataan pria ini. Dia
mengatakan apa tadi? Sesuatu?
“Sesuatu?” tanyaku memastikan.
Kemudian pria itu tersenyum dan pamit pergi. Menyisakan tanda tanya yang
membayang-bayang di otakku.
Sesuatu.
Hembus angin menerpa wajahku menitipkan pesan. Sayup-sayup kudengar suara
bisikan, waktu. Aku tertegun.
***
Time is free, but it’s priceless. You can’t own it, but you can use it.
You can’t keep it, but you can spend it. Once you’ve lost it, you can never get
it back. –Harvey Mackat