Sebenarnya rupa
Sagita biasa saja bahkan tergolong jelek, maaf. Ditambah kebiasaan buruk gadis
itu yang suka datang terlambat lengkap dengan rambut kusut menghiasi kepala
gadis itu. Satu hal paling mencolok dari penampilan Sagita saat bulan pertama
di sekolah ini adalah rok khasnya yang benar-benar kecil terlebih ada bekas
sobekan dibagian garis jahitan belakang di bawah rok menyerupai rok kakak kelas
tiga atau agit. Sungguh kombinasi bagus untuk menjadikannya bahan pembicaraan
anak-anak dilingkungan sekolah.
Konon jika rok seorang siswi robek pada bagian jahitan
belakang bawah rok, ia pasti telah menerima hukuman dari guru kesiswaan. Itulah
mengapa panggilan Agit begitu melekat pada Sagita. Sebenarnya masih banyak
kebiasaan buruk Sagita di sekolah yang benar-benar membuat kami tidak senang
dengannya. Tapi bukan berarti sekolahku tidak memiliki peraturan yang mengatur
cara berpakaian. Sekolahku bahkan sudah cukup ketat untuk segala urusan sikap,
tingkah laku dan penampilan murid-murid.
Pada bulan pertama
tahun ajaran baru, aku berangkat bersama Siska. Melangkah memasuki pintu
gerbang, kami berpapasan dengan salah satu guru bidang kesiswaan. Langkah kami
berdua langsung terhenti. Wanita tersebut melemparkan berbagai nasihat dengan
nada tajam sebab rok Siska dinilai tidak sesuai ketentuan yang berlaku.
Beruntung hari itu Siska hanya mendapat teguran dan hanya mengisi kartu
pelanggaran, rok miliknya tidak tergores gunting petaka milik guru itu.
Kejadian yang
membuat heboh adalah disaat bersamaan si Agit datang tergesa-gesa memakai rok
kecil seperti biasa. Memang, ia tetap mengisi kartu pelanggaran. Namun guru
tersebut tidak memberikan nada tajam kepada gadis itu selayaknya dengan murid
lain bahkan beliau memanggilnya dengan sebutan ‘anak manis’. Sontak saja si
Agit langsung mendapat sambutan meriah dari semua siswa yang melihat kejadian
tersebut terlebih dari kakak-kakak Agit. “HUUUUUUUU!”, begitulah sambutan dari
mereka.
Ada pula komentar sinis yang dilemparkan Galih, teman
sekelasku. “Kopi hitam mana ada yang manis, Bu,” katanya. Yang dimaksud kopi
hitam adalah warna kulit Sagita. Komentar Galih ini malah ditimpali lagi oleh
Siska, “Pantas, kalian berdua cocok kan sama-sama kopi haha.” Wajah Galih
sebenarnya tidak tampan, bahkan sering menjadi target kejahilan anak laki-laki
dikelas. Tapi sekali nya diledek pacar
Sagita oleh teman-teman dikelas ia pasti marah. Mendengar ucapan Siska wajah
Galih langsung kesal dan membuat laki-laki itu melengos pergi seketika.
Sedangkan
guru yang sedang berjaga tadi berusaha meredam kegaduhan sekaligus membubarkan
kumpulan siswa yang menyaksikan kejadian pagi itu. Diam-diam ekor mataku
memperhatikan Sagita, dia hanya menunduk dan melanjutkan jalan menuju kelas.
Ekspresi gadis itu benar-benar tidak terbaca. Bisa dipastikan peristiwa
tersebut kontan menjadi topik hangat dikalangan murid-murid. Ini adalah salah
satu dari sekian peristiwa menggemparkan yang dilakukan oleh Sagita.
Pernah juga Sagita
datang terlambat dan salah menggunakan seragam. Ia masuk ke dalam kelas.
Sebagai siswi yang sering menjadi bahan ejekan, semua pasang mata tertuju
kepadanya berharap ia mendapat omelan dari guru. Harapan hanyalah harapan. Ia
tetap diperbolehkan belajar karena ia telah menerima sanksi dari guru kesiswaan
sebelum masuk kelas. Benar-benar aneh sebab tiada guru yang pernah memarahi
Sagita.
Pada bulan
selanjutnya penampilan Sagita perlahan-lahan berubah. Rok milik gadis itu tidak
sekecil saat pertama masuk sekolah. Begitupun kebiasaan buruk Sagita mulai
hilang. Walau seperti itu masih ada saja beberapa murid yang masih
menjadikannya bahan olok-olokan.
Hari ini Sagita
tidak masuk sekolah. Kemarin pun ia tidak datang. Biarlah aku tak peduli. Toh
ada atau tidak ada dia tak berpengaruh juga untukku pribadi. Setidaknya berkat
ketidakhadiran si Agit suasana kelas menjadi agak tenang. Tidak ada
ungkapan-ungkapan buruk yang mencelos dari mulut murid-murid di kelas.
Wali kelasku berkata
bahwa beliau tidak menerima surat ataupun keterangan lain yang bisa menjelaskan
alasan ketidakhadiran Sagita. Bahkan sampai pelajaran hari ini usai pun tidak
ada tanda-tanda dari gadis itu. Barangkali ia sudah tidak tahan diejek makanya
ia memilih tidak masuk sekolah.
Selesai bel
berdering aku langsung pulang dengan berjalan kaki mengingat jarak rumahku
tidak terlalu jauh dari sekolah. Ketukan-ketukan langkah sepatuku menyusuri
jalanan. Kutengok sisi kanan ada beberapa pohon besar disana. Kulihat kebawah
nampak bayangan tubuhku sudah memanjang kebelakang. Menjelang sore, matahari sedang
bersembunyi dibalik awan. Semilir angin menyapu daun-daun kering.
Tiba-tiba bunyi
ribut yang berasal dari arah belakang mengagetkanku. Aku berlari tanpa
memperhatikan jalan. Alhasil kaki kananku tersandung terkena batu. Rok
seragamku menjadi kotor bergesekan kasar dengan tanah.
Kakiku terasa nyeri,
sakit sekali. Rupanya tadi itu suara kucing ribut. Aku mengomel dalam hati.
Kucoba berdiri tapi aku tak bisa. Aku kembali duduk. Tak mau menyerah secepat
itu, kucoba sekali lagi untuk berdiri. Hasilnya sama, gagal lagi. Pasti kakiku
terkilir.
“Ras, Saras!” sebuah
suara memanggilku.
Aku menoleh ke arah
suara itu. Mataku menangkap seorang gadis sedang membawa sepeda tengah
menghampiriku. Ia adalah Sagita. Lengkap betul penderitaanku hari ini. Kalau ia
mau menertawakanku akan kubalas nanti, lihat saja. Ia menyandarkan sepeda di
sebuah batang pohon besar dan berjalan ke arahku.
Aku menatap intens
penampakan Sagita di depanku. Hari ini secara eksklusif aku melihat wujud
Sagita ‘si Agit’ dari dekat. Kantung mata Sagita terlihat menghitam. Peluh
membasahi tubuhnya. Keringat berkilat-kilat di wajah Sagita. Ia terlihat sangat
lelah. Sagita mengenakan kaus kebesaran. Kaus yang ia kenakan nampak lusuh.
“Kamu kenapa?”,
tanya Sagita. Wajah gadis itu terheran sekaligus menyiratkan kekhawatiran.
“Tadi aku terjatuh
terus kakiku terkilir.” Balasku datar.
Tanpa membalas
ucapanku, ia langsung berlutut di depan kakiku. Ia mulai menyentuh tepat dimana
rasa sakit yang mendera kakiku. Aku mengaduh kesakitan tetapi ia tetap
melanjutkan aksinya. Bukan berhenti, ia malah memijat kakiku lebih keras lagi.
Puncaknya aku berteriak sangat keras, “ADUH! SAKIIIIIIIIT.” Pijitan tangan
Sagita dikakiku mulai memelan dan tidak sesakit tadi. Aku merasa kakiku sedikit
membaik. Ia membantuku berdiri lalu menuntunku duduk di atas akar sebuah pohon
besar. Tak lupa, kuucapkan terimakasih padanya.
“Agit eh maksudku
Sagita, Kamu kenapa tidak masuk sekolah?”, aku bertanya berusaha membuka
percakapan.
“Aku harus berjualan
kue di Pasar. Selepas itu aku mengantar pesanan kue pelanggan ibu.”
Jari telunjuk Sagita
mengarah ke keranjang sepeda usang nya.
“Kamu bolos karena
berjualan kue?” tanyaku lagi memastikan.
“Iya, ibuku sedang
sakit sedangkan ayahku harus kembali ke temanggung mengurus rumah kami.”
Jadi, Ayah Sagita adalah
seorang kuli bangunan, sedangkan ibu Sagita adalah penjual kue-kue tradisional
di Pasar. Beberapa bulan lalu rumah Sagita di daerah Temanggung kebakaran. Insiden
tersebut memaksa ia dan keluarganya berpindah rumah ke rumah nenek Sagita.
Karena itu pula Sagita terpaksa pindah sekolah. Seluruh barang berharga mereka
ludes ditelan si jago merah.
Diawal masuk sekolah
ia terpaksa memakai seragam seadanya. Itupun pemberian dari tetangga nenek.
Biar kekecilan tetap ia pakai. Usai kejadian tersebut ibu Sagita mulai kembali
berjualan kue-kue tradisional di Pasar berkat pinjaman modal dari tetangga
nenek. Tak jarang Sagita harus membantu Ibunya ke pasar membeli bahan-bahan kue
atau sekedar mengantar pesanan pelanggan sejak pagi buta.
Suatu ketika ia
harus mengantar kue pesanan pelanggan yang jaraknya lumayan jauh dan membuatnya
terlambat. Jadi karena ia mengayuh pedal sepeda dengan terburu-buru membuat
garis jahitan rok miliknya robek dibagian belakang. Ayah Sagita pun tahu jika
seragam sang anak robek. Ia tak tega melihat putri nya tersiksa karena hal
tersebut. Namun apalah daya, uang buat makan saja mereka harus meminjam.
Beruntung ada
seorang warga mengetahui keahlian ayah Sagita, beliau mendapat tawaran bekerja
menjadi kuli bangunan di rumah warga. Uang hasil kerja tersebut ia sisihkan
untuk membeli seragam sang putri. Sagita tak pernah merasa malu dengan keadaan
yang ia alami justru ia selalu bersyukur akan segala hal yang terjadi dalam
hidup baik suka maupun duka. Kuberanikan diri untuk bertanya bagaimana perasaan
ia saat diledek di sekolah. Jawaban yang diberikan Sagita sukses membuatku terpelatuk.
Ia berkata bila tak ada sedikitpun ia menyimpan amarah apalagi dendam kepada
murid-murid yang meledeknya.
“Disamping belajar
aku harus ikut membantu kedua orang tuaku. Aku tidak ingin membebankan mereka.
Sekarang Ibuku sedang sakit sehingga aku harus menggantikan Ibu berjualan dan
mengantar pesanan. Kalau bukan aku yang membantu kedua orangtuaku lantas siapa
lagi? Lagipula nenekku kan sudah tua. Semoga Tuhan memberikan kesembuhan untuk ibu
agar besok aku bisa bersekolah dan tidak tertinggal pelajaran.” ujar Sagita
dengan menghembuskan napas berat.
Aku termangu. Hatiku
tersentak mendengar penjelasan dari Sagita. Wajah gadis itu selalu menunduk.
Kali ini aku dapat melihat dengan sangat jelas ekspresi wajah gadis itu menahan
kesedihan. Bahu Sagita perlahan naik turun, ia terisak tak dapat membendung
tangis. Air mataku menetes. Kuusap cepat dengan punggung tanganku. Segera aku
membawa tubuh Sagita ke dalam pelukan. Sekarang aku malu terhadap diriku
sendiri terutama kepada Sagita.
Sejenak aku berpikir
agar kesedihan Sagita teralihkan. Aku memutuskan untuk bertanya kepada Sagita,
“Omong-omong itu dikeranjang kamu masih ada kue-kue git? Aku mau beli ya.”
Mendengar pertanyaan
yang kuucap, ia segera menghapus air mata yang membasahi wajahnya. Ia bangkit
menuju keranjang sepeda. Pelan-pelan aku mencoba berdiri. Biar sakit aku tetap
memaksakan kakiku agar berdiri. Akhirnya aku berhasil meski masih sedikit
terseok-seok. Kulihat disana ada berbagai macam jajanan kue tradisional.
“Aku beli yang ini,
git. Kebetulan Bunda senang sekali dengan bolu pisang.” Tanganku merogoh
selembar uang sepuluh ribu dan memberikannya kepada Sagita. Awalnya ia menolak
uangku tapi aku memaksa agar ia menerimanya. Ketika ia mengeluarkan uang
kembalian cepat-cepat kutahan.
“Kembalian itu kamu
simpan saja, Git.” lanjutku lagi.
“Terimakasih Saras.
Termakasih banyak. Kamu memang anak baik. Semoga Tuhan selalu melindungi dan
menyayangi kamu.” Ia terlihat begitu gembira. Kedua tangannya mengatup dan
merapat terangkat, bersyukur.
Baru sekarang aku
merasa uang saku pemberian kedua orang tuaku yang dulu kuanggap sedikit
ternyata dapat berarti lebih bagi orang lain. Kemudian ia menggenggam tanganku.
Kedua bola mata itu memancarkan kegembiraan yang amat sangat. Hatiku kembali
tersentuh. Hangat genggaman tangan Sagita seolah menjalar dan menyentuh hatiku
yang sebelumnya terlanjur dingin dan beku.
Kemudian ia
membungkus beberapa kue bolu pisang dan beberapa kue lain ke dalam plastik.
Tanganku menerima bungkusan itu. Sagita menawarkan tumpangan kepadaku
menggunakan sepada miliknya. Berhubung kakiku belum sembuh benar, aku menerima
tawaran Sagita.
Kini aku tahu.
Mungkin guru-guru pun juga tahu kalau kamu sering lalai dalam sekolah bukan
atas keinginanmu, tapi karena cinta dan sayangmu pada keluarga, Sagita. Mereka
benar, kamu memang anak manis. Fisikmu memang tidak secantik gadis-gadis di
sekolah, tapi hatimu sangat cantik bagai malaikat. Detik ini aku berjanji akan
menjadi temanmu, Sagita. Aku berjanji tidak akan meledekmu. Aku berjanji akan
bersikap baik denganmu. Ya, aku janji.
***
Di ruang tamu suatu
rumah, seorang gadis mengenakan seragam putih abu-abu tengah bersiap berangkat
sekolah. Ia sedang duduk di teras sembari membaca. Jemari tangannya
membolak-balik lembaran-lembaran kertas berisi cerita pendek. Kertas itu tampak
sudah menguning. Ia tersenyum membaca cerita yang tertuang disana.
“Permisi.”
Mendengar suara dari luar rumah ia segera meletakkan
lembaran-lembaran kertas yang tengah ia baca di atas meja. Di halaman rumah
terlihat seorang pria paruh baya menuruni sepedah motor miliknya dan menghapiri gadis itu.
“Saya mau mengantarkan kiriman kue untuk Ibu Nilam.” ucap seorang pria
menyodorkan bungkusan tersebut kepada si gadis.
Ia pun merogoh beberapa lembar uang dari dalam saku. Saat
sang gadis ingin memberikan uang kepada si pengantar kue, ia menolak karena ia
hanya ditugaskan untuk mengantarkan kue dan tidak diperkenankan menerima
bayaran dari Ibu Nilam, pesan si pemilik toko. Selanjutnya, pria itupun
melenggang pergi mengendarai sepeda
motor. Gadis itu tersenyum dan berbalik masuk ke dalam rumah.
Di dalam rumah,
berdiri seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah sang Ibu menghampiri
gadis itu. Senyumnya tampak mengembang melihat sang anak. Perhatian sang Ibu
langsung terpaku menatap bungkusan yang ditenteng si gadis.
“Pesanan dari siapa
itu dan untuk siapa, nak?”, tanya sang Ibu dengan suara lembut.
“Aku juga tidak tahu
dari siapa, Bu. Tapi pengantar kue tadi bilang ini kue untuk nenek.” Gadis itu
langsung menyerahkan bungkusan tadi kepada sang Ibu. Lalu ia berpamitan untuk
berangkat sekolah.
Selepas gadis itu
pergi, sang Ibu mendaratkan tubuhnya untuk duduk di sofa ruang tamu. Pandangan mata
wanita itu terhenti pada satu titik, ia menyernyit melihat lembaran-lembaran
kertas diatas meja. Megabaikannya, ia kembali terfokus pada bungkusan kue yang
barusan diterima anaknya. Ia ingat betul kalau ia tidak memesan kue. Tangan
wanita itu mulai bergerak membuka bungkusan di hadapannya. Terlihat dua kotak
besar, dibukalah kotak itu. Isinya adalah bolu pisang. Disana terselip sebuah
kartu ucapan dari sang pengirim. Ia membaca sekilas dan tersenyum samar. Terimakasih Sagita, gumamnya pelan.