Skip to main content

Si Agit



   Si Agit

         Sagita adalah siswi pindahan dikelasku, kelas 11 IPA 4. Hampir satu semester ini ia telah menimba ilmu disini. Aku dan teman-teman biasa menyebut gadis itu ‘Agit’. Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa, bukan? atau kalian pasti menjawab karena nama dia adalah Sagita. Kalau iya maka jawaban kalian salah, tidak sepenuhnya salah sih. Jawaban tepatnya bukan karena itu, akan kujawab nanti. Meskipun kami berada dalam kelas yang sama, aku tidak terlalu mengenalnya. Terdapat beberapa kemungkinan alasan kenapa aku tak terlalu akrab dengan si Agit. Entah aku yang terlalu sombong sehingga enggan mengakrabkan diri dengan dirinya atau memang si Agit tipikal orang yang tertutup mengenai kehidupan pribadi.
                Sebenarnya rupa Sagita biasa saja bahkan tergolong jelek, maaf. Ditambah kebiasaan buruk gadis itu yang suka datang terlambat lengkap dengan rambut kusut menghiasi kepala gadis itu. Satu hal paling mencolok dari penampilan Sagita saat bulan pertama di sekolah ini adalah rok khasnya yang benar-benar kecil terlebih ada bekas sobekan dibagian garis jahitan belakang di bawah rok menyerupai rok kakak kelas tiga atau agit. Sungguh kombinasi bagus untuk menjadikannya bahan pembicaraan anak-anak dilingkungan sekolah.
Konon jika rok seorang siswi robek pada bagian jahitan belakang bawah rok, ia pasti telah menerima hukuman dari guru kesiswaan. Itulah mengapa panggilan Agit begitu melekat pada Sagita. Sebenarnya masih banyak kebiasaan buruk Sagita di sekolah yang benar-benar membuat kami tidak senang dengannya. Tapi bukan berarti sekolahku tidak memiliki peraturan yang mengatur cara berpakaian. Sekolahku bahkan sudah cukup ketat untuk segala urusan sikap, tingkah laku dan penampilan murid-murid.
                Pada bulan pertama tahun ajaran baru, aku berangkat bersama Siska. Melangkah memasuki pintu gerbang, kami berpapasan dengan salah satu guru bidang kesiswaan. Langkah kami berdua langsung terhenti. Wanita tersebut melemparkan berbagai nasihat dengan nada tajam sebab rok Siska dinilai tidak sesuai ketentuan yang berlaku. Beruntung hari itu Siska hanya mendapat teguran dan hanya mengisi kartu pelanggaran, rok miliknya tidak tergores gunting petaka milik guru itu.
                Kejadian yang membuat heboh adalah disaat bersamaan si Agit datang tergesa-gesa memakai rok kecil seperti biasa. Memang, ia tetap mengisi kartu pelanggaran. Namun guru tersebut tidak memberikan nada tajam kepada gadis itu selayaknya dengan murid lain bahkan beliau memanggilnya dengan sebutan ‘anak manis’. Sontak saja si Agit langsung mendapat sambutan meriah dari semua siswa yang melihat kejadian tersebut terlebih dari kakak-kakak Agit. “HUUUUUUUU!”, begitulah sambutan dari mereka.
Ada pula komentar sinis yang dilemparkan Galih, teman sekelasku. “Kopi hitam mana ada yang manis, Bu,” katanya. Yang dimaksud kopi hitam adalah warna kulit Sagita. Komentar Galih ini malah ditimpali lagi oleh Siska, “Pantas, kalian berdua cocok kan sama-sama kopi haha.” Wajah Galih sebenarnya tidak tampan, bahkan sering menjadi target kejahilan anak laki-laki dikelas. Tapi sekali nya  diledek pacar Sagita oleh teman-teman dikelas ia pasti marah. Mendengar ucapan Siska wajah Galih langsung kesal dan membuat laki-laki itu melengos pergi seketika.
                Sedangkan guru yang sedang berjaga tadi berusaha meredam kegaduhan sekaligus membubarkan kumpulan siswa yang menyaksikan kejadian pagi itu. Diam-diam ekor mataku memperhatikan Sagita, dia hanya menunduk dan melanjutkan jalan menuju kelas. Ekspresi gadis itu benar-benar tidak terbaca. Bisa dipastikan peristiwa tersebut kontan menjadi topik hangat dikalangan murid-murid. Ini adalah salah satu dari sekian peristiwa menggemparkan yang dilakukan oleh Sagita.
                Pernah juga Sagita datang terlambat dan salah menggunakan seragam. Ia masuk ke dalam kelas. Sebagai siswi yang sering menjadi bahan ejekan, semua pasang mata tertuju kepadanya berharap ia mendapat omelan dari guru. Harapan hanyalah harapan. Ia tetap diperbolehkan belajar karena ia telah menerima sanksi dari guru kesiswaan sebelum masuk kelas. Benar-benar aneh sebab tiada guru yang pernah memarahi Sagita.
                Pada bulan selanjutnya penampilan Sagita perlahan-lahan berubah. Rok milik gadis itu tidak sekecil saat pertama masuk sekolah. Begitupun kebiasaan buruk Sagita mulai hilang. Walau seperti itu masih ada saja beberapa murid yang masih menjadikannya bahan olok-olokan.
                Hari ini Sagita tidak masuk sekolah. Kemarin pun ia tidak datang. Biarlah aku tak peduli. Toh ada atau tidak ada dia tak berpengaruh juga untukku pribadi. Setidaknya berkat ketidakhadiran si Agit suasana kelas menjadi agak tenang. Tidak ada ungkapan-ungkapan buruk yang mencelos dari mulut murid-murid di kelas.
                Wali kelasku berkata bahwa beliau tidak menerima surat ataupun keterangan lain yang bisa menjelaskan alasan ketidakhadiran Sagita. Bahkan sampai pelajaran hari ini usai pun tidak ada tanda-tanda dari gadis itu. Barangkali ia sudah tidak tahan diejek makanya ia memilih tidak masuk sekolah.
                Selesai bel berdering aku langsung pulang dengan berjalan kaki mengingat jarak rumahku tidak terlalu jauh dari sekolah. Ketukan-ketukan langkah sepatuku menyusuri jalanan. Kutengok sisi kanan ada beberapa pohon besar disana. Kulihat kebawah nampak bayangan tubuhku sudah memanjang kebelakang. Menjelang sore, matahari sedang bersembunyi dibalik awan. Semilir angin menyapu daun-daun kering.
                Tiba-tiba bunyi ribut yang berasal dari arah belakang mengagetkanku. Aku berlari tanpa memperhatikan jalan. Alhasil kaki kananku tersandung terkena batu. Rok seragamku menjadi kotor bergesekan kasar dengan tanah.
                Kakiku terasa nyeri, sakit sekali. Rupanya tadi itu suara kucing ribut. Aku mengomel dalam hati. Kucoba berdiri tapi aku tak bisa. Aku kembali duduk. Tak mau menyerah secepat itu, kucoba sekali lagi untuk berdiri. Hasilnya sama, gagal lagi. Pasti kakiku terkilir.
                “Ras, Saras!” sebuah suara memanggilku.
                Aku menoleh ke arah suara itu. Mataku menangkap seorang gadis sedang membawa sepeda tengah menghampiriku. Ia adalah Sagita. Lengkap betul penderitaanku hari ini. Kalau ia mau menertawakanku akan kubalas nanti, lihat saja. Ia menyandarkan sepeda di sebuah batang pohon besar dan berjalan ke arahku.
                Aku menatap intens penampakan Sagita di depanku. Hari ini secara eksklusif aku melihat wujud Sagita ‘si Agit’ dari dekat. Kantung mata Sagita terlihat menghitam. Peluh membasahi tubuhnya. Keringat berkilat-kilat di wajah Sagita. Ia terlihat sangat lelah. Sagita mengenakan kaus kebesaran. Kaus yang ia kenakan nampak lusuh.
                “Kamu kenapa?”, tanya Sagita. Wajah gadis itu terheran sekaligus menyiratkan kekhawatiran.
                “Tadi aku terjatuh terus kakiku terkilir.” Balasku datar.
                Tanpa membalas ucapanku, ia langsung berlutut di depan kakiku. Ia mulai menyentuh tepat dimana rasa sakit yang mendera kakiku. Aku mengaduh kesakitan tetapi ia tetap melanjutkan aksinya. Bukan berhenti, ia malah memijat kakiku lebih keras lagi. Puncaknya aku berteriak sangat keras, “ADUH! SAKIIIIIIIIT.” Pijitan tangan Sagita dikakiku mulai memelan dan tidak sesakit tadi. Aku merasa kakiku sedikit membaik. Ia membantuku berdiri lalu menuntunku duduk di atas akar sebuah pohon besar. Tak lupa, kuucapkan terimakasih padanya.
                “Agit eh maksudku Sagita, Kamu kenapa tidak masuk sekolah?”, aku bertanya berusaha membuka percakapan.
                “Aku harus berjualan kue di Pasar. Selepas itu aku mengantar pesanan kue pelanggan ibu.”
                Jari telunjuk Sagita mengarah ke keranjang sepeda usang nya.
                “Kamu bolos karena berjualan kue?” tanyaku lagi memastikan.
                “Iya, ibuku sedang sakit sedangkan ayahku harus kembali ke temanggung mengurus rumah kami.”
                Jadi, Ayah Sagita adalah seorang kuli bangunan, sedangkan ibu Sagita adalah penjual kue-kue tradisional di Pasar. Beberapa bulan lalu rumah Sagita di daerah Temanggung kebakaran. Insiden tersebut memaksa ia dan keluarganya berpindah rumah ke rumah nenek Sagita. Karena itu pula Sagita terpaksa pindah sekolah. Seluruh barang berharga mereka ludes ditelan si jago merah. 
                Diawal masuk sekolah ia terpaksa memakai seragam seadanya. Itupun pemberian dari tetangga nenek. Biar kekecilan tetap ia pakai. Usai kejadian tersebut ibu Sagita mulai kembali berjualan kue-kue tradisional di Pasar berkat pinjaman modal dari tetangga nenek. Tak jarang Sagita harus membantu Ibunya ke pasar membeli bahan-bahan kue atau sekedar mengantar pesanan pelanggan sejak pagi buta.
                Suatu ketika ia harus mengantar kue pesanan pelanggan yang jaraknya lumayan jauh dan membuatnya terlambat. Jadi karena ia mengayuh pedal sepeda dengan terburu-buru membuat garis jahitan rok miliknya robek dibagian belakang. Ayah Sagita pun tahu jika seragam sang anak robek. Ia tak tega melihat putri nya tersiksa karena hal tersebut. Namun apalah daya, uang buat makan saja mereka harus meminjam.
                Beruntung ada seorang warga mengetahui keahlian ayah Sagita, beliau mendapat tawaran bekerja menjadi kuli bangunan di rumah warga. Uang hasil kerja tersebut ia sisihkan untuk membeli seragam sang putri. Sagita tak pernah merasa malu dengan keadaan yang ia alami justru ia selalu bersyukur akan segala hal yang terjadi dalam hidup baik suka maupun duka. Kuberanikan diri untuk bertanya bagaimana perasaan ia saat diledek di sekolah. Jawaban yang diberikan Sagita sukses membuatku terpelatuk. Ia berkata bila tak ada sedikitpun ia menyimpan amarah apalagi dendam kepada murid-murid yang meledeknya.
                “Disamping belajar aku harus ikut membantu kedua orang tuaku. Aku tidak ingin membebankan mereka. Sekarang Ibuku sedang sakit sehingga aku harus menggantikan Ibu berjualan dan mengantar pesanan. Kalau bukan aku yang membantu kedua orangtuaku lantas siapa lagi? Lagipula nenekku kan sudah tua.  Semoga Tuhan memberikan kesembuhan untuk ibu agar besok aku bisa bersekolah dan tidak tertinggal pelajaran.” ujar Sagita dengan menghembuskan napas berat.
                Aku termangu. Hatiku tersentak mendengar penjelasan dari Sagita. Wajah gadis itu selalu menunduk. Kali ini aku dapat melihat dengan sangat jelas ekspresi wajah gadis itu menahan kesedihan. Bahu Sagita perlahan naik turun, ia terisak tak dapat membendung tangis. Air mataku menetes. Kuusap cepat dengan punggung tanganku. Segera aku membawa tubuh Sagita ke dalam pelukan. Sekarang aku malu terhadap diriku sendiri terutama kepada Sagita.
                Sejenak aku berpikir agar kesedihan Sagita teralihkan. Aku memutuskan untuk bertanya kepada Sagita, “Omong-omong itu dikeranjang kamu masih ada kue-kue git? Aku mau beli ya.”
                Mendengar pertanyaan yang kuucap, ia segera menghapus air mata yang membasahi wajahnya. Ia bangkit menuju keranjang sepeda. Pelan-pelan aku mencoba berdiri. Biar sakit aku tetap memaksakan kakiku agar berdiri. Akhirnya aku berhasil meski masih sedikit terseok-seok. Kulihat disana ada berbagai macam jajanan kue tradisional.
                “Aku beli yang ini, git. Kebetulan Bunda senang sekali dengan bolu pisang.” Tanganku merogoh selembar uang sepuluh ribu dan memberikannya kepada Sagita. Awalnya ia menolak uangku tapi aku memaksa agar ia menerimanya. Ketika ia mengeluarkan uang kembalian cepat-cepat kutahan.
                “Kembalian itu kamu simpan saja, Git.” lanjutku lagi.
                “Terimakasih Saras. Termakasih banyak. Kamu memang anak baik. Semoga Tuhan selalu melindungi dan menyayangi kamu.” Ia terlihat begitu gembira. Kedua tangannya mengatup dan merapat terangkat, bersyukur.
                Baru sekarang aku merasa uang saku pemberian kedua orang tuaku yang dulu kuanggap sedikit ternyata dapat berarti lebih bagi orang lain. Kemudian ia menggenggam tanganku. Kedua bola mata itu memancarkan kegembiraan yang amat sangat. Hatiku kembali tersentuh. Hangat genggaman tangan Sagita seolah menjalar dan menyentuh hatiku yang sebelumnya terlanjur dingin dan beku.
                Kemudian ia membungkus beberapa kue bolu pisang dan beberapa kue lain ke dalam plastik. Tanganku menerima bungkusan itu. Sagita menawarkan tumpangan kepadaku menggunakan sepada miliknya. Berhubung kakiku belum sembuh benar, aku menerima tawaran Sagita.
                Kini aku tahu. Mungkin guru-guru pun juga tahu kalau kamu sering lalai dalam sekolah bukan atas keinginanmu, tapi karena cinta dan sayangmu pada keluarga, Sagita. Mereka benar, kamu memang anak manis. Fisikmu memang tidak secantik gadis-gadis di sekolah, tapi hatimu sangat cantik bagai malaikat. Detik ini aku berjanji akan menjadi temanmu, Sagita. Aku berjanji tidak akan meledekmu. Aku berjanji akan bersikap baik denganmu. Ya, aku janji.

***

                Di ruang tamu suatu rumah, seorang gadis mengenakan seragam putih abu-abu tengah bersiap berangkat sekolah. Ia sedang duduk di teras sembari membaca. Jemari tangannya membolak-balik lembaran-lembaran kertas berisi cerita pendek. Kertas itu tampak sudah menguning. Ia tersenyum membaca cerita yang tertuang disana.
                “Permisi.”
Mendengar suara dari luar rumah ia segera meletakkan lembaran-lembaran kertas yang tengah ia baca di atas meja. Di halaman rumah terlihat seorang pria paruh baya menuruni sepedah motor miliknya  dan menghapiri gadis itu.
“Saya mau mengantarkan kiriman kue untuk Ibu Nilam.” ucap seorang pria menyodorkan bungkusan tersebut kepada si gadis.
Ia pun merogoh beberapa lembar uang dari dalam saku. Saat sang gadis ingin memberikan uang kepada si pengantar kue, ia menolak karena ia hanya ditugaskan untuk mengantarkan kue dan tidak diperkenankan menerima bayaran dari Ibu Nilam, pesan si pemilik toko. Selanjutnya, pria itupun melenggang pergi  mengendarai sepeda motor. Gadis itu tersenyum dan berbalik masuk ke dalam rumah.
                Di dalam rumah, berdiri seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah sang Ibu menghampiri gadis itu. Senyumnya tampak mengembang melihat sang anak. Perhatian sang Ibu langsung terpaku menatap bungkusan yang ditenteng si gadis.
                “Pesanan dari siapa itu dan untuk siapa, nak?”, tanya sang Ibu dengan suara lembut.
                “Aku juga tidak tahu dari siapa, Bu. Tapi pengantar kue tadi bilang ini kue untuk nenek.” Gadis itu langsung menyerahkan bungkusan tadi kepada sang Ibu. Lalu ia berpamitan untuk berangkat sekolah.
                Selepas gadis itu pergi, sang Ibu mendaratkan tubuhnya untuk duduk di sofa ruang tamu. Pandangan mata wanita itu terhenti pada satu titik, ia menyernyit melihat lembaran-lembaran kertas diatas meja. Megabaikannya, ia kembali terfokus pada bungkusan kue yang barusan diterima anaknya. Ia ingat betul kalau ia tidak memesan kue. Tangan wanita itu mulai bergerak membuka bungkusan di hadapannya. Terlihat dua kotak besar, dibukalah kotak itu. Isinya adalah bolu pisang. Disana terselip sebuah kartu ucapan dari sang pengirim. Ia membaca sekilas dan tersenyum samar. Terimakasih Sagita, gumamnya pelan.

Popular posts from this blog

Sebuah Tantangan

Sebuah Tantangan Laptop-laptop bertengger diatas meja seluruh murid dalam salah satu kelas sepuluh. Kertas sobekan berisi goresan rumus dan coret-coretan bertaburan di sebagian meja. Ada pula murid yang bersenda gurau sekedar membicarakan film, buku, atau tempat nongkrong baru. Sebagian murid lain memilih sibuk berselancar di linimasa dengan perantara ponsel. Presentasi kelompok untuk mata pelajaran Matematika Peminatan sedang berlangsung siang ini. Seperti biasa, aku berkelompok dengan Arimbi dan Indira. Kami bertiga mengerjakan kuis yang diberikan kelompok lain dengan semangat. “Ini jawabannya negatif,” ucap Indira memindai lembaran kertas coretan Arimbi. “Serius? Aku harus hitung ulang lagi kalau begitu.” Arimbi langsung mendecak sebal. Selembar kertas ia gunakan untuk mengerjakan satu soal matematika dan ternyata hasilnya salah hanya karena tanda postif dan negatif. “Kamu ngerjain soal nomor berapa rim?”, sergahku ikut berbalik menghadap meja Arimbi.

Waktu

WAKTU A ku sering menikmati tenangnya rumah seorang diri, mengucapkan selamat tinggal pada dunia luar dengan mengunci pintu dan membaca buku. Sepi adalah sahabat baikku yang mampu menenangkanku dalam diam. Ia bersekongkol dengan waktu untuk memperlambat putaran jarum jam, memperlama siksa yang menderaku. Terhitung sudah tiga hari ini aku tidak bercengkrama sama sekali dengan dunia. Bagiku, hidup ini singkat dan sia-sia. Rasanya tak ada yang bisa aku lakukan. Membiarkan waktu membunuhku perlahan. Seseorang datang mengetuk pintu rumahku di pagi hari. Dengan malas aku membukanya dan mempersilahkan ia masuk. Seketika sekumpulan cahaya menyusup masuk. Tapi ia tidak merespon apapun. Jangankan merespon, ia bahkan tidak bergerak sedikitpun dari posisinya berdiri. Wajah pria di depanku ini terlihat asing. Mungkin ia adalah teman Papa. “Cari Papa ya om? Maaf, tapi Papa belum pulang dari luar kota,” terangku seadanya. Bukannya menjawab, pria itu malah menyodorkan sebuah k