Laptop-laptop
bertengger diatas meja seluruh murid dalam salah satu kelas sepuluh. Kertas
sobekan berisi goresan rumus dan coret-coretan bertaburan di sebagian meja. Ada
pula murid yang bersenda gurau sekedar membicarakan film, buku, atau tempat
nongkrong baru. Sebagian murid lain memilih sibuk berselancar di linimasa
dengan perantara ponsel. Presentasi kelompok untuk mata pelajaran Matematika
Peminatan sedang berlangsung siang ini. Seperti biasa, aku berkelompok dengan
Arimbi dan Indira. Kami bertiga mengerjakan kuis yang diberikan kelompok lain
dengan semangat.
“Ini
jawabannya negatif,” ucap Indira memindai lembaran kertas coretan Arimbi.
“Serius?
Aku harus hitung ulang lagi kalau begitu.” Arimbi langsung mendecak sebal.
Selembar kertas ia gunakan untuk mengerjakan satu soal matematika dan ternyata
hasilnya salah hanya karena tanda postif dan negatif.
“Kamu
ngerjain soal nomor berapa rim?”, sergahku ikut berbalik menghadap meja Arimbi.
“Dua
belas. Kamu sudah?”
Tanpa
memedulikan pertanyaan Arimbi, aku menyambar kertas coretan miliknya dan
punyaku. Lalu menyandingkan keduanya diatas meja. Mataku menelisik dan mengikuti gerakan jari
telunjukku yang berputar-putar pada kertas.
“Cara
kamu sama kayak punyaku kok. Tapi.... hasil akhirnya berbeda.” Pikiranku
melambung bingung.
“Nah
ini nih! Kamu lupa tanda negatif dari sini makanya hasil akhir kita beda.”
Tambahku lagi membuat wajah Arimbi sumringah. Kepanikan yang melanda gadis itu
sedikit memudar. Arimbi menggosokkan penghapus pada titik-titik kesalahannya.
Tak lupa ia berterimakasih kepadaku dan Indira.
Aku
merasa senang karena setiap pembagian kelompok belajar kami bertiga tidak
terpisahkan. Indira dan Arimbi memang terkenal cerdas, maka dari itu aku tidak
pernah kesulitan mengerjakan tugas kelompok bersama mereka. Selain itu, kami
juga gemar bertukar ide dan sering berdiskusi bersama.
Jam
pelajaran matematika telah usai. Sekarang memasuki jam pelajaran Bahasa
Indonesia. Murid-murid membereskan buku-buku yang berkaitan dengan matematika
dan menggantinya dengan Bahasa Indonesia. Begitu pula dengan Aku, Arimbi dan
Indira. Selepas itu Bu Sofi, guru Bahasa Indonesia melangkah masuk ke kelas.
Membuka pelajaran Bahasa Indonesia, Bu Sofi mengabsen murid.
Semua
murid telah diabsen kehadirannya. Hari ini murid-murid hadir seluruhnya. Bu
Sofi memulai pelajaran dengan menjelaskan materi yang akan dibahas untuk
pertemuan minggu depan. Beliau berkata bahwa tugas kali ini adalah kelompok.
Tiap kelompok akan mempresentasikan hasil kerja mereka di depan kelas. Sudah
bisa dipastikan, aku, Arimbi dan Indira pasti berada dalam kelompok yang sama.
“Hari
ini pembagian kelompok menggunakan sistem kocokan acak. Jadi, setiap anak harus
mengambil salah satu kertas dalam kaleng. Angka yang tertera pada kertas akan
menjadi kelompok kalian. Silahkan diambil urutan absen satu diikuti absen
selanjutnya,” terang Bu Sofi.
“Bu,
anggota kelompoknya kami pilih sendiri saja ya” pinta Indira. Kelas menjadi
ramai seketika karena kami semua mendukung perkataan Indira.
“Tidak
bisa, Indira. Kalau begitu tidak adil, nanti ada murid yang tidak kebagian
kelompok lagi seperti sebelumnya.”
Mendengar
jawaban yang diberikan Bu Sofi semua mau tidak mau harus menerima. Mungkin
perkataan Bu Sofi ada benarnya. Satu per satu murid secara bergilir mengambil
kertas kocokan dalam kaleng. Diantara kami bertiga, Arimbi mendapat giliran
pertama. Selanjutnya adalah Indira, kemudian aku.
“Aku
kelompok 3. Kamu kelompok berapa, ra?” Arimbi tidak sabar mengetahui kelompok
Indira.
“Yah
kok beda. Aku dapat angka 7. Kalau kamu?” Indira melemparkan pertanyaan padaku.
“Aku
kelompok pertama nih.” jawabku lemas.
Astaga,
kali ini kami bertiga terpisah.
Kegaduhan
kembali tercipta setelah pembagian kelompok. Semua sibuk mencari anggota
kelompok yang sama.
“Bu,
saya boleh tukeran kelompok tidak ya?” tanya Arimbi.
“Tidak
bisa, nak.” jawab Bu Sofi tegas.
“Kelompoknya
tidak imbang, Bu.” timpalku memberanikan diri.
“Siapa
bilang tidak imbang, nak. Ibu yakin semua anak di kelas ini adalah murid-murid
pandai, kalian bisa saling bekerja sama dengan baik.”
Lagi-lagi
permintaan kami ditolak. Daripada berdebat, kami bertiga kembali terdiam. Apa
boleh buat. Aku terpaksa bergabung bersama kelompokku. Sialnya teman-teman
sekelompokku kali ini “tidak ada apa-apanya”. Kali ini aku satu kelompok dengan
Tari dan Ana.
Tari
dan Ana tidak bereaksi apa-apa. Tari sibuk membaca buku yang bahkan belum
kuketahui eksistensinya selama ini. Kulayangkan pandanganku ke arah Ana, sama
saja. Tangan nya tampak mencorat-coret sesuatu di halaman belakang. Mereka
terdiam membisu. Entah tersinggung ucapanku atau tidak paham tugas yang
diberikan. Aku terlanjur bingung harus melakukan apa. Bagaimana ini? bisa-bisa
nilai Bahasa Indonesiaku mendapatkan nilai jelek.
Kulihat
Indira sedang berdiskusi serius dengan kelompoknya. Beruntung sekali, ia satu
kelompok dengan anak-anak peringkat 10 besar di kelas. Pandanganku beralih ke
Arimbi, ia juga terlihat fokus pada layar laptop miliknya. Pasti ia sudah
mencari bahan yang akan di bahas untuk minggu depan. Aku tak tahan dengan
situasi ini. Biasanya aku tak pernah kesulitan begini.
“Materi
presentasinya apa?”
Suara
Tari kontan membuyarkan pikiranku. Materinya saja dia tidak tahu, bagaimana
bisa kelompok ini berjalan.
“Teks
anekdot.” balasku singkat.
Sampai
bel pulang berbunyi. Kami tidak melakukan apapun selain mencari kesepakatan
hari untuk bekerja kelompok. Kesepakatan itu membuahkan hasil bahwa kerja
kelompok akan dilaksanakan terhitung dari esok hari usai jam sekolah.
“Haduh
anggota kelompokku payah semua. Tidak bisa diajak berdiskusi, bahkan
mengeluarkan ide saja tidak bisa. Kalau begitu kukerjakan saja tugas itu
sendiri,” celoteh Arimbi.
“Sama,
rim. Aku juga. Indira tuh enak kelompoknya pandai semua.”
“Iya
saking pandainya kami semua tidak ada yang mau mengalah, semua mempertahankan
ide masing-masing.”
Kami
bertiga kecewa atas pembagian kelompok Bahasa Indonesia.
Hari
berikutnya, aku berkumpul dengan Tari dan Ana di taman sekolah. Hawa sejuk
selalu menyelimuti sekolah. Terdapat banyak pepohonan yang tumbuh dan terawat
dengan baik disini. Suasana sekolah saat ini begitu tenang. Hanya terdengar
gemercik dari pancuran kolam ikan di taman. Hanya sedikit siswa yang masih
berlalu lalang di lorong dibandingkan di kantin.
“Teman-teman
kita pembagiannya seperti apa nih?”
Mereka
tetap terdiam, tapi ekspresi wajah keduanya menggambarkan ekspesi heran. Sekian
menit lamanya suasana hening berlangsung. Aku hampir saja berputus asa. Ana
menarik keluar laptop miliknya dari dalam tas. Sepintas muncul ide di kepalaku.
“Ana,
kamu bisa edit dan design video kan?” kataku.
“Iya.”
“Bagaimana
kalau hari ini kita bertiga cari materi bersama-sama melalui buku dan internet.
Keesokan harinya kita bahas bersama dan memilah materi yang telah kita dapat.
Ana membuat video animasi. Lalu Tari membuat makalah. Dan aku akan membuat
lembar presentasi. Bagaimana?” usulku bersemanngat.
Sepertinya
Tari dan Ana menyetujui usulku.
“Baik.
Ayo kita kerjakan sekarang.” Tari mulai membuka buku dan memberi garis bagian-bagian
penting materi teks anekdot. Tidak jauh berbeda, Aku dan Ana pun mencari bahan
materi di laptop.
Tak
terasa senja telah merangkak di kaki Timur, tugas hari pertama kami telah usai.
Keesokkan
hari, kami bertiga berkumpul kembali di taman. Kami mulai membandingkan dan
mengambil kesimpulan materi dari beberapa sumber yang telah didapat.
Pertama-tama definisi, struktur, tujuan, struktur, dsb. Awalnya kami sempat
bingung, namun semua bisa diatasi. Berulang kali kami mengganti kalimat agar
sesuai dan bisa dipahami nantinya oleh audiensi. Beberapa materi yang dianggap
rancu tidak dipergunakan. Banyak ide dan saran yang Tari dan Ana sumbangkan
untuk konsep presentasi.
Selama
akhir pekan, kami bertemu kembali. Ana sudah menyelesaikan tugas membuat video
animasi. Tugasku juga sudah beres. Tari masih mengerjakan makalah sehingga aku
dan Ana ikut membantu pekerjaan Tari. Sesudahnya, kami mematangkan materi
dengan membaca ulang. Tanya jawab pun kami lakukan bersama. Aku tidak menyangka
kami bisa bekerja sama. Walau aku belum tahu bagaimana nanti hasil penilaian
presentasi.
Hari
ini secara bergiliran presentasi tiap kelompok dalam pelajaran bahasa indonesia
ditampilkan. Kelompokku maju paling pertama. Mula-mula kami menyerahkan makalah
kepada Bu Sofi. Kemudian kami menayangkan lembar-lembar presentasi. Secara
bergantian kami menyampaikan materi. Berbagai pertayaan seputar materi teks
anekdot diberikan kepada kami. Dengan cekatan kami menjawab semua pertanyaan
dengan mantap. Semua murid nampak antusias mendengar penjelasan kami bertiga,
terlebih saat menyaksikan penayangan video animasi. Di akhir video, Ana memberi
kesimpulan. Tepuk tangan cukup riuh dari teman-teman dikelas memecah udara. Bu
Sofi tersenyum senang melihat hasil kerja kami.
Berapapun
hasil yang didapat nanti, kami bertiga sepakat tidak akan mempermasalahkannya.
Yang terpenting adalah kami harus menampilkan yang terbaik agar orang lain
dapat memahami materi yang disampaikan.
Dan
satu hal lain yang penting bagiku adalah
kami bisa bekerja sama. Kini aku menyesal telah meremehkan kemampuan orang lain
sebelum mengenalnya terlebih dahulu.
***
It
always seems impossible until it’s done –Nelson Mandela